Sabtu, 29 Desember 2007

HIMALAYA


Beijing,- "TUNTUTLAH ilmu sampai ke negeri China" adalah pepatah lama yang sekarang makin berlaku dengan berkembangnya China dalam mengelola aset negara, walaupun tentu tidak semua hal patut ditiru. Salah satu perkembangan yang maju pesat adalah sektor pariwisata. Saat ini tujuan favorit bagi turis lokal China maupun turis Asia adalah kota Jiuzhaiguo, yaitu: kota kecil pegunungan Himalaya, yang disulap menjadi pusat pariwisata cantik dan terpadu serta rinci. Dimulai dari airport mungilnya, Huang Long, dibuat di salah satu gunung yang dipapas sehingga airport tersebut menjadi landasan terbang tertinggi di dunia dengan + 3,700 m di atas permukaan laut, dikelilingi gunung-gunung es. Perjalanan dari airport akan diliputi kabut sekitar 2 jam dari kota. Kualitas jalan yang bagus membuat kita dapat menikmati beberapa pedesaan dari masing-masing suku yang ada di daerah tersebut. Jiuzhaiguo berari 9 suku dan sungai kecil memang terletak di perbatasan daerah Tibet dan Qiang, penduduknya juga merupakan campuran kedua budaya daerah tersebut. Pusat turisme adalah: Taman Nasional yang tadinya merupakan hunian dari 9 suku minoritas daerah tersebut dan dipertahankan menjadi atraksi kunjungan ke desa-desa mereka. Pengaruh Tibet sangat terasa. Budaya minum teh dan makanan-makanan yang ada merupakan perpaduan kental antara Tibet dan She Chuan. Di taman nasional tersebut seluruh aspek pariwisata dipikirkan dan dibuat sangat rinci oleh Pemerintah China, mulai dari bus-bus umum yang bersih dan tersedia setiap saat, tour guide lokal yang menguasai area, pemberhentian untuk foto dan pemandangan-pemandangan yang indah. Restoran yang terpadu dengan pasar penjualan souvenir yang bersih, jalur pejalan kaki bahkan diberi lapisan untuk tidak licin pada musim dingin! Semua bisa dinikmati lengkap dengan buku petunjuk seharga ¥ 210 RMB (sekitar Rp 270,000). Malam hari masih ditambah dengan pertunjukan budaya berupa tarian, pakaian dan lagu yang disajikan oleh pemuda/i campuran suku Tibet dan Qiang. Masuknya budaya asing mulai terasa dengan adanya modernisasi dibangunan dan cara hidup suku-suku minoritas yang sudah naik mobil-mobil kecil menggantikan kuda yang dulu merupakan cerminan kekayaan mereka. Awalnya suku Tibet hanya mandi 3 kali seumur hidup: sewaktu lahir, saat akan menikah dan apabila meninggal dunia. Namun sekarang hampir setiap hari mereka sudah mandi, bahkan barang elektronik mulai menghiasi rumah-rumahnya. Peraturan yang ada di seluruh China berupa: anak hanya 1 per keluarga tidak berlaku bagi mereka karena merupakan suku minoritas, hal ini merupakan bukti bahwa Pemerintah China memang memikirkan perkembangan daerah ini sebagai aset pariwisata nasional. Memang ada hal-hal yang masih kurang, seperti kebersihan toilet di tempat-tempat umum dan kebiasaan meludah orang setempat yang bagi turis asing tentu kurang mengenakan, serta cara menjual barang souvenir yang perlu keahlian khusus dalam menawar (tapi ini tentu merupakan keahlian kita) ditambah faktor bahasa yang mungkin kurang dapat dimengerti turis asing, tetapi ini semua tentunya dapat dengan mudah diperbaiki Pemerintah China. Satu tips bagi turis asing, jangan datang pada tanggal 1 - 7 Mei dan Oktober ke tujuan wisata China karena merupakan hari libur yang ditetapkan Pemerintah China untuk berwisata bagi seluruh penduduk China, atau biasa disebut The Golden Week. Ratusan danau dan air terjunnya, budaya eksotis dan pemandangan yang ada benar-benar fantastis dan mampu menarik turis 10.000 orang per hari dengan rata-rata waktu menginap 3 hari 2 malam dan pengeluaran rata-rata ¥ 800 RMB (sekitar Rp 1,000,000) per orang mampu membuat perekonomian kota tersebut bergerak, terutama dimusim sibuk sekitar bulan Juli - November (5 bulan saja per tahun). Bayangkan saja dengan omset Rp 1,5 trilyun/tahun dari sektor atraksi dan hotel pariwisata saja tentu pemerintah daerah sekecil itu dapat keuntungan luar biasa. Tak heran sudah ada dua hotel mewah berbintang 5 plus muncul di sana! Ini semua belum termasuk transportasi, makan/minum, souvenir, industri pendukung yang lain. Penulis hanya mampu bermimpi apakah ada Pemerintah Daerah Tingkat II di Indonesia yang mau menirunya sehingga mampu menghasilkan devisa, karena bukan hal yang sulit memadukan keindahan alam dan budaya setempat menjadi atraksi asal mau dan punya visi ke depan serta "menomor-akhirkan" korupsi! Tinggal meniru saja, mudah khan, berani coba?!(

Tidak ada komentar: